Guys, dibawah ini adalah contoh
pembuatan seminar proposal yg bisa diangkat menjadi karya tulis (Skripsi).Mudah2an
bisa menjadi reverensi yg menarik buat anda2 semua. Silahkan di edit2 sendiri
ya di microsoft word anda semuanya. Hehe... Ini
adalah karya ilmiah yg saya susun sendiri menjadi skripsi.
CONTOH SEMINAR PROPOSAL SKRIPSI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pariwisata mempunyai beberapa
ragam dan jenis yaitu meliputi wisata argo, wisata bahari, wisata minat khusus,
wisata budaya serta wisata religiyang salah salah satu bentuknya adalah “wisata
ziarah”. Setiap wisatawan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Namun
demikian, seiring dengan perkembangan jaman, maka tuntutan para wisatawan akan
terus semakin bervariasi. Oleh karena itu, kita perlu mengantisipasi
perkembangan ini dengan meningkatkan kualitas pelayanan dan manajemen yang
lebih profesional (Laporan akhir Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pem Kab
Demak, 2007).
Di Kabupaten Demak banyak
mempunyai obyek wisata diantaranya adalah Masjid Agung Demak dan Makam
Kesultanan Demak Bintoro yang terletak disamping masjid itu sendiri. Kita tahu
wisata ziarah ini berkaitan dengan peninggalan sejarah yang sudah berkembang
sejak lama. Meski mempunyai bebagai potensi ternyata pendapatan yang masuk ke
daerah dari aspek itu belum terlalu besar. Karena mereka yang datang kebanyakan
bukan wisatawan tetapi peziarah yang tidak bermaksud untuk untuk membelanjakan
uangnya untuk bersenang-senang. Pemasukan ke kas Pemda masih terbatas pada
retribusi parkir dan retribusi para pedagang yang dulu berada didepan masjid
agung.
Sejak 6 Maret 2004, Masjid Agung
Demak telah ditetapkan oleh PemerintahPusat sebagai salah satu cagar budaya
nasional. Masjid yang didirikan pada tahun 1466 oleh Raden Fatah bersama
sembilan wali (walisongo) itu memang memiliki sejarah yang penting, terutama
bagi kaum muslimin di pulau Jawa. Status ini memiliki potensi yang menarik bagi
para wisatawan, selama tahun 2006 tercatat pengunjung di Demak mencapai 624.234
orang, dan 488 diantaranya adalah para wisatawan mancanegara (Kantor Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Demak,2006)
Akan tetapi, tingginya minat
wisatawan ini belum didukungoleh infrastruktur pariwisata yang memadai.
Akhirnya sebagian warga Kabupaten Demak memilih untuk berwisata kedaerah lain
yang memiliki tempat wisata. Karena keterbatasan sarana dan prasarana seperti
itu banyak sebagian wisatawan lebih suka menginap di kota Semarang. Karena
memang Kota “Wali” ini hanya memiliki hotel kelas melati, yakni Hotel
Sederhana, wisma wisatawan yang terletak di kadilangu, Hotel Wijaya kusuma, dan
Hotel Citra Alam. Karena itu lah Demak hanya menjadi kota ampiran dan
persinggahan bagi para pengguna jalan dan wisatawan peziarah.
Maka dari itu Pemerintah
Kabupaten Demak melakukan suatu gebrakan untuk kawasan wisata Masjid Agung
Demak, dengan mendirikan unit usaha angkutan dan biro wisata sejak tahun 2004,
itu adalah langkah yang sudah tepat. Akan tetapi langkah itu belumlah cukup.
Pengembangan pariwisata harus merupakan langkah yang komperhensif dan
terintegrasi, meliputi lima unsur yang penting (spillane, 1994 : 69) yakni :
(dikutip dari Laporan akhir Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pem Kab Demak,
2007)
a.
Atraction (adanya pertunjukan yang menarik para
wisatawan),
b. Facilities
(adanya fasilitas-fasilitas yang diperlukan),
c. Infrastructure
(adanya infrastruktur yang diperlukan),
d. Transportation
(adanya jasa pengangkutanyang nyaman) dan,
e. Hospitality
(kesediaan untuk menerima tamu dengan ramah dan mengesankan).
Selain itu, Pedagang kaki lima
(PKL) yang ada di tempat wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak
Bintoro tersebut juga harus dan perlu diperhatikan juga keberadaannya agar
tidak mengganggu kenyamanan para wisatawan dan tamu untuk berziarah. Pada
dasarnya para pelaku usaha PKL biasanya berasal dari kalangan perekonomian
menengah ke bawah, berpendidikan rendah, dengan modal usaha yang relatif kecil,
serta para masyarakat pedesaan yang melakukan urbanisasi ke kota guna mencari
peruntungan yang lebih baik dari pada di desa. Pada awalnya, keberadaan PKL di
Area Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintorohanya berlangsung di
alun-alun kota saja dan hanya hari-hari besar saja melakukan aktifitasnya.
Namun, waktu itu keberadaan PKL dianggap tidak mengganggu kepentingan umum,
para pengunjung Masjid Agung Demak dan peziarah Makam Kesultanan Demak Bintoro.
Setiap daerah menghadapi masalah
dalam pelaksanaan proses pembangunannya, demikian pula dengan Pemerintah
Kabupaten Demak, rencana Pemerintah Kabupaten Demak untuk merelokasi para PKL
di kawasan Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro, yang menurut
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2004 “ Tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang
Kaki Lima”, yang tertuang dalam BAB II Pasal 2 “Tentang Pengaturan Tempat Usaha”
Pemerintah Kabupaten Demak mengupayakan bahwa PKL yang berada di lokasi
tersebut akan dipindahkan di daerah Tembiring Demak, tapi berhubung jarak
antara Masjid Agung Demak dan Tembiring cukup jauh dan hanya transportasi ojek
dan andong, maka PKL berontak dan merasa keberatan dan akan tetap menetap di
kawasan Masjid Agung Demak tepatnya dibelakang dan disamping Masjidyang menuju
ke Terminal dan tempat peristirahatan, dan di Tembiring tetap digunakan
sebagai tempat peristirahatan dan Terminal Pariwisata keduapada saat pagi
sampai sore hari, setelah malam hari maka Terminal pariwisata Masjid Agung
Demak berada disamping Masjid yang sudah disediakan untuk parkir Bus dan
kendaraan pribadi.
Keberadaan PKL memberikan
pengaruh yang sangat penting bagi Pemerintah Kabupaten Demak untuk melakukan
upaya penataan PKL demi ketertiban dan keindahan kota Kabupaten Demak sebagai
pusat pariwisata ziarah. Pemerintah tidak bisa sewenang-wenang menertibkan atau
bahkan menghentikan kegiatan usaha PKL tersebut karena itu menyangkut mata
pencaharian orang banyak, yang tentunya apabila mereka tidak mempunyai
penghasilan akan menimbulkan berbagai macam persoalan baru. Dari bertambahnya
angka pengangguran, kriminalitas serta masalah-masalah sosial lainnya. Akan
tetapi menjamurnya keberadaan PKL bukannya tidak menimbulkan masalah bila
mereka dibiarkan tumbuh secara liar tanpa adanya aturan akan menganggu
kepentingan umum dan membuat wajah kota pariwisata semakin semrawut, seperti
menyebabkan kemacetan lalu lintas, kawasan menjadi kotor, mengganggu kenyamanan
pejalan kaki dan yang lebih penting lagi adalah disekitar Masjid Agung Demak
dan Makam Kesultanan Demak Bintoro yang menjadi Sejarah dan Mahkota Religi
diKabupaten Demak. Itu sangat mengganggu para pengunjung atau peziarahyang akan
merasa terganggu dalam ibadahnya di dalam Masjid maupun berziarah ke Makam
Kesultanan Demak Bintoro.
Pelaksanaan kebijakan tentang
pengembangan wisata, penataan, dan pembinaan PKL di lokasi wisata Kabupaten
Demak, menjumpai berbagai masalah di lapangan sehingga berpengaruh terhadap
keberhasilan kebijakan tersebut.
Hal ini terlihat dari fenomena yang di temui di
lapangan :
1. Adanya
penjarahan ruang publik dan mengganggu proses beribadah para pengunjung Masjid
Agung Demak, Makam Kesultanan Demak Bintoro. Jika dilihat dari sudut pandang
ini Pemerintah Kabupaten Demak secara moral memang harus bertanggungjawab
akibat dari penertiban tersebut. Bentuk tanggungjawab itu berupa pemindahan
para pedagang ke lokasi baru dan memberikan ruang yang cukup luas kepada pengunjung
untuk beribadah dan merasa nyaman. Untuk mewujudkan niat tersebut pemerintah
harus melakukan kebijakan, berupa :
·
Memberikan kesempatan para pengunjung untuk
beribadah dengan khusyuk jauh dari keramaian para pedagang yang ada disekitar
Masjid dan Makam.
·
Melarang keras pedagang berjualan didalam
lingkungan Masjid dan Makam yang akan menggangu para pengunjung dan peziarah.
·
Memberikan fasilitas tempat peristirahatan
kepada para pengunjung atau peziarah.
·
Memberikan tempat berjualan di daerah Tembiring
yang sudah dibangunkan kios-kios untuk berjualan yang sifatnya permanen.
·
Di belakang dan disamping Masjid dan Makam yang
menuju ke Terminal sudah disediakan Tempat untuk berjualan para pedagang.
2. Adanya
pelanggaran yang dilakukan oleh para PKL sehingga bertentangan dengan kebijakan
yang di tetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Demak, seperti :
·
Mendirikan bangunan permanen
·
Melakukan aktifitas usahanya setiap hari
·
Membuat lingkungan menjadi kotor
· Membuka usahanya di depan pintu masuk Masjid Agung
Demak sehingga membuat macet lalu lintas dan mengganggu pengunjung untuk
beribadah.
Kehadiran sektor informal ini
sangat memegang peranan penting dalam kehidupan, karena dapat menunjang
tersedianya lapangan kerja dan merupakan sumber pendapatan yang potensial bagi
penduduk. Terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004
tentang otonomi daerah, sehingga daerah berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan
Asli Daerahnya, salah satunya dengan diadakannya retribusi bagi sektor
informal yang berkaitan dalam perekonomian kota.
Menurut Manning & Effendi
(1991 : 113), pandangan yang meyakini bahwa sektor informal sebagai benih-benih
kewiraswastaan yang berfungsi mendorong pertumbuhan ekonomi kota.
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu bentuk dari sektor informal
tersebut karena PKL merupakan unit perekonomian berskala kecil lebih
memfokuskan kepada produksi maupun distribusi barang-barang atau jasa yang
ruang lingkupnya hanya sebatas daerah atau wilayah tempat tinggalnya. Dalam
artian produk-produk atau jasa yang didistribusikan maupun yang dihasilkan oleh
PKL hanya sanggup digunakan untuk memenuhi permintaan akan kebutuhan masyarakat
di sekitar tempat tinggal mereka maupun masyarakat di sekitar tempat PKL
tersebut menjalankan usahanya.
Berdasarkan uraian di atas maka
penulis berusaha untuk mengangkat tema tersebut sebagai proposal skripsi dengan
judul “KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WISATA DAN PENATAAN KAWASAN WISATA MASJID AGUNG
DEMAK DAN MAKAM KESULTANAN DEMAK BINTORO OLEH PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK PERIODE
2007”. Judul ini penulis pilih untuk mengetahui upaya Pemerintah Kabupaten
Demak dalam usahanya mencari jalan keluar terhadap pengembangan wisata,penataan
kawasan, dan permasalahan PKL yang ada di sekitar kawasan Masjid Agung Demak
dan Makam Kesultanan Demak Bintoro, dan bagaimana reaksi para pedagang yang
merupakan objek dari upaya tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian permasalahan
tersebut maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
· Bagaimanakah upaya Pemerintah Kabupaten Demak
dalam melakukan pengembangan wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan
Demak Bintoro.
· Bagaimanakah upaya kebijakan penataan pariwisata
Pemerintah Kabupaten Demak terhadapPKL yang berada dikawasan wisata Masjid
Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro.
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana upaya Pemerintah Kabupaten
Demak dalam pengembangan wisata dan penataan kawasan wisata di Masjid Agung
Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro.
2. Untuk mengetahui bagaimana upaya kebijakan penataan
pariwisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro yang dilakukan
oleh Pemerintah Kabupaten Demak terhadap PKL yang berada di kawasan wisata
Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi atas tiga kategori
utama yakni:
1. Manfaat
bagi peneliti.
Untuk mengetahui kebijakan
Pemerintah Kabupaten Demak dalam upayapengembangan wisata dan penataan kawasan
wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoroterhadap PKL di
kawasan wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro.
2.
Manfaat bagi lembaga pendidikan
Untuk memperkaya khasanah
penelitian kebijakan pengembangan wisata dan penataan PKL yang ada didalamnya.
3.
Manfaat bagi pembaca
Untuk menambah wawasan dan
referensi tentang penelitian kebijakan pengembangan wisata dan penataan PKL.
1.5. KERANGKA TEORI
1.5.1. Kebijakan Penataan Kawasan Wisata Ziarah.
1.5.1.1. Wisata, Pariwisata, dan Wisatawan.
Wisata adalah kegiatan
perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan
mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau
mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi, dalam jangka waktu
sementara (Ismayanti, 2010 : 3).
Menurut UU no. 9 tahun 1990,
kata wisata diberi pengertian sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari
kegiatan yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk
menikmati objek dan daya tarik wisata. Sedangkan pariwisata dalam UU yang sama
diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata. Termasuk
pengusahaan obyek wisata dan daya tarik wisata (Laporan akhir Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Pem Kab Demak, 2007).
Pariwisata adalah berbagai macam
kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang
diberikan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah (Ismayanti, 2010 : 3). Pariwisata merupakan komoditi dalam pasar
dan politik ekonomi global. Kaitannya antara hal-hal yang eksotis (sesuatu yang
asing yang belum diketahui). Kebutuhan akan hiburan dan pembangunan nasional
merupakan salah satu jawaban penting mengapa industri pariwisata perlu dikelola
secara tepat. Terlebih tetangga semakin ketat. Sampai saat ini pariwisata di
indonesia masih belum membaikapabila dibandingkan dengan negara-negara di
ASEAN.
Hal ini terjadi karena
bermacam-macam penyebab antara lain bisa disebutkan (Laporan akhir Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Pem Kab Demak, 2007) :
1.
Masih rendahnya kesadaran potensi pariwisata
dikalangan pemerintah maupun masyarakat.
2.
Belum adanya pengembangan pariwisata secara
terpadu.
3.
Iklim investasi belum dikembangkan maksimal
untuk menarik modal pengembangan investasi.
4.
Masih terbatasnya kemampuan sarana wisata
tertentu didaerah.
5.
Lemahnya promosi dan koordinasi antar pemegang
kebijakan sektor pariwisata-ekonomi.
6.
Belum optimalnya perencanaan strategi promosi
dari pemegang kebijakan (stakeholders) mulai dari pemerintah dan pelaku usaha
pariwisata.
Wisatawan dikenal sebagai
orang-orang yang melakukan kegiatan wisata (Ismayanti, 2010 : 3). Pasific Area
Travel Association (PATA) memberikan pengertian wisata sebagai orang-orang yang
sedang mengadakan perjalanan dalam jangka waktu 24 jam dan maksimal 3 (tiga)
bulan di dalam suatu negri bukan negri dimana ia berasal dan tinggal (Pendit,
1995). Mereka meliputi:
a. Orang-orang
yang sedang mengadakan perjalanan untuk bersenang-senang untuk keperluan
pribadi, untuk keperluan kesehatan.
b. Orang-orang
yang sedang mengadakan perjalanan untuk pertemuan, konfrensi, musyawarah, atau
sebagai utusan berbagai badan atau organisasi.
c. Orang-orang
yang sedang mengadakan perjalanan dengan maksud bisnis.
d. Pejabat
pemerintahan dan militer beserta keluarganya yang ditempatkan di negara lain
tidak termasuk dalam kategori ini. Akan tetapi bila mereka mengadakan
perjalanan ke negri lain, maka mereka juga dapat digolongkan sebagai wisatawan.
Wisatawan mengadakan perjalanan
wisata karena didorong oleh berbagai motif yang tercermin dalam berbagai macam
jenis pariwisata. Disamping hal-hal tersebut diatas, pembangunan kepariwisataan
juga akan memacu sektor informal, untuk menyediakan berbagai produk barang dan
jasa bagi kebutuhan dan keinginan wisatawan seperti barang cendera mata,
makanan, jasa hotel, dan juga kebutuhan pemandu wisata. Sebagai mesin penggerak
ekonomi, pariwisata merupakan kegiatan yang sangat potensial mengurangi angka
pengangguran.
Harapan peningkatan ekonomi
melalui pariwisata wajar mengingat potensi kecenderungan naiknya wisatawan pada
masa mendatangsemakin kelihatan. Akan tetapi hasil penelitian awal menunjukkan,
ada pemerintah daerah yang selama ini menangani sektor pariwisata belum
melibatkan para para pengembangan promosi pariwisata daerah. Hal ini bisa
terlihat dalam APBD di masing-masing daerah, dimana penempatan pos anggaran
yang ada kurang mencerminkan pengembangan sektor pariwisata dengan lebih
terarah. Dalam hal ini perlibatan para pelaku usaha wisata menjadi penting
mengingat mereka adalah bagian tak terpisahkan dari industri pariwisata.
Menyadari ha-hal tersebut diatas
maka sebenarnya ada tiga unsur pokok yang secara terpadu perlu dikelola bagi
kesuksesan industri pariwisata di Indonesia yaitu : wisatawan, peran
pemerintah, penyedia sarana wisata dan promotor atau perantara bisnis
pariwisata. Pada hakekatnya industri pariwisata merupakan industru yang amat
rentan akan gangguan keamanan, sekalipun diakui bahwa ekonomi merupakan faktor
menentukan kegiatan pariwisatasangat disadari oleh pembuat kebijakan pemerintah
bahwa pariwisata adalah “clean and safe indutry”. Oleh karena itu maka
pengembangan industri pariwisata di Indonesia mensyaratkan adanya berbagai
jaminan agar lingkungan (sosial, politik, ekonomi dan budaya) selalu berada
kondisi baik dan terjamin keamanannya.
1.5.1.2. Pariwisata Ziarah
Kata “ziarah” berasal dari
bahasa arab “zara, yazuru, ziaratun”, artinya berkunjung atau pergi menengok.
Sedang dalam kamus besar bahasa indonesia (balai pustaka), kata ziarah
diartikan dengan berkunjung ketempat yang dianggap mulia, makam dan sebagainya. Bagi sebagian masyarakat indonesia,
terutama kaum muslimin, kegiatan ziarah sering dihubungkan dengan kegiatan
ziarah kubur. Bagi sebagian kaum muslimin, termasuk dipulau jawa, ziarah ke
kubur sudah menjadi tradisi/kebiasaan yang sudah lama turun temurun, terutama
menjelang hari-hari baik seperti : pada bulan suci Ramadhan, menjelang hari
Raya Idul Fitri, pada hari malam Jum’at, hari haul (ulang tahun) tokoh/ulama
yang dihormati. Disamping itu juga ada ziarah kubur yang dilakukan secara resmi
pemerintah dalam acara besar nasional seperti : pada Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia, Hari Pahlawan, dan sebagainya.
Dengan demikian, pengertian
pariwisata ziarah adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan dengan
peerjalan mengunjungi atau pergi menengok ke tempat-tempatyang dianggap mulia
(makam para wali, dan sebagainya) dengan tujuan mendapatkan ketenangan,
kedamaian, dan memulihkan kembali kesegaran rohani.
1.5.2. Kebijakan Penataan Kawasan Wisata.
1.5.2.1. Kebijakan Publik.
Kebijakan publik menurut Thomas
Dye adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan
(public policy is what goverment do, why they do it, and what difference it
makes). Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna
bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah bukan organisasi
swasta dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan pemerintah (Badjuri dan Yuwono , 2002 : 8).
Menurut James E. Anderson , “Public
policies are those policies developed by governmental bodies and official”.
(Kebijakan negara adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh
badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Menurut Anderson implikasi dari
kebijakan negara tersebut adalah : (M. Irfan Islamy, 2004 : 4)
a. Bahwa
kebijakan negara itu selalu punya tujuan tertentu atau
merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.
b. Bahwa
kebijakan itu berisi tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat
pemerintah.
c. Bahwa
kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah.
d. Bahwa
kebijakan negara itu bersifat positif dalam arti merupakan beberapa tindakan
pemerintah mengenai masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti
merupakan keputusan pejabat pemerintah dalam melakukan sesuatu.
Menurut Jenkins, Kebijakan
publik adalah sebuah rangkaian yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang
aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah
dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana
keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan
kekuasaan daripada aktor tersebut (Solichin Abdul Wahab, 1990 : 29).
Amir Santoso mengatakan bahwa
kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua kategori, pertama kebijakan publik
disamakan dengan tindakan-tindakan pemerintah, kedua kebijakan adalah
serangkaian instrukasi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan
yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut
(Budi Winarno, 2007 : 19).
Menurut Harold Lasswell dan
Abraham Kaplan bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan
praktek-praktek sosial yang ada dalam masyarakat (AG Subarsono, 2005 : 3). Sementara menurut David Easton
bahwakebijakan publik adalah sebagai “ Pengalokasian nilai-nilai secara paksa
(sah) kepada seluruh anggota masyarakat”(M. Irfan Islamy. 2004 : 9). Carl Freidrich mengatakan bahwa kebijakan
adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok,
atau Pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat
hambatan-hambatan atau kesulitan-kesulitan dan kemungkinan-kemungkinan/
kesempatan-kesempatan dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam
mengatasinya untuk mencapai tujuan yag dimaksud (D. Riant Nugroho, 2007 :
4).
Dalam konsep lainnya seorang
pakar bernama William N. Dunn mengatakan proses analisis kebijakan publik
merupakan serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses
kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis itu nampak pada serangkaian
kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sementara aktivitas
perumusan masalah sampai pada evaluasi kebijakan sebagai aktivitas yang
lebih bersifat intelektual, dapat dilihat dibawah ini :
a.
Fase Penyusunan agenda (agenda setting), para pejabat
yang dipilih menempatkan masalah kebijakan pada agenda publik.
b.
Fase Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni
suatu proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.
c.
Penetapan kebijakan (decision making), yakni proses
ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan
tindakan.
d.
Implementasi kebijakan (policy implementation), yakni
proses melaksanakan kebijakan agar berhasil. Kebijakan yang telah
diambildilaksanakan oleh unit-unti administrasi dengan menggunakan sumber daya
yang dimilikinya.
e.
Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses
untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.
Wibowo Eddi menyebutkan, bahwa
dalam konteks pemahaman mengenai budaya yang terfokus pada organisasi
pemerintahan, kebijakan publik adalah produk budaya dari salah sebuah institusi
yaitu organisasi pemerintah. Kebijakan publik juga merupakan serangkaian sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia, dalam rangka kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya, dan dicapai dengan belajar (Eddi
Wibowo. T. Saifful. B, Hessel Nogi S. T, YPAPI, 2009 : 7).
Dari beberapa definisi diatas
dapat dirumuskan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang
diusulkan dan ditetapkan oleh pemerintah atau pembuat kebijakan kepada
pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai
tujuan tersebut dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan dimana
kebijakan tersebut diformulasikan, diimplementasikan, dan dievaluasi. Suatu
kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik bila tidak dirumuskan, disahkan
dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah. Bila telah disahkan, maka kebijakan
akan memiliki nilai otoritatif. Artinya dapat dialokasikan kepada seluruh
masyarakat atau kelompok masyarakat. Bagi anggota masyarakat yang tidak
mentaati maka akan dikenakan sanksi (Charles E Lindblom, 1991 : 3).
Kebijakan yang telah dibuat oleh
pemerintah bagaimanapun harus dilaksanakan untuk mencapai target atau sasaran
yang telah direncanakan. Oleh karena itu maka suatu kebijakan harus melewati
suatu tahapan implementasi kebijakan publik setelah diformulasikan pemerintah.
Dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji lebih dalam mengenai implementasi
kebijakan pengembangan wisata dan penataan kawasan Masjid Agung Demak dan Makam
Kesultanan Demak Bintoro di Kabupaten Demak.
1.5.2.2. Kebijakan Pengembangan Dan Penataan
Kawasan Wisata.
1.5.2.2.1. Kebijakan Pengembangan dan Penataan
Pariwisata.
Kebijakan pengembangan dan penataan kawasan
wisata meliputi beberapa kebijakan diantaranya adalah :
1. Kebijakan
Pokok
a.
Mewadahi, membangun dan mengembangkan manfaat potensi
pariwisata sebagai kegiatan ekonomiyang menciptakan lapangan kerja.
b.
Meningkatkan kemampuan dan keterampilan aparatur serta
pemberdayaan tugas dan fungsi organisasi Disparda sebagai fasilitatordan
regulator pengembangan pariwisata.
c.
Meningkatkan kesempatan berusaha dan keterlibatan
masyarakat dalam mengembangkan kawasan wisata
d.
Melaksanakan kerjasama pariwisata antar daerah dan
dunia usaha.
2. Kebijakan
penataan Spasial (keruangan) Pariwisata
a.
Memberikan arahan yang jelas bagi pengembangan wisatadi
Kota Kabupaten berdasarkan karakteristik keruangannya melalui penetapan zonasi
pengembangan.
b.
Untuk kemudahan pembangunan serta pengelolaannya, perlu
dilakukan pengelompokkan obyek dan daya tarik wisata pada Satuan Kawasan
Wisata (SKW). Satuan-satuan kawasan wisata tersebut merupakan kawasan
yang memiliki pusat-pusat kegiatan wisatawan dan mempunyai keterkaitan sirkuit
atau jalur wisata.
c.
Melakukan urutan prioritas pengembangan satuan kawasan
wisata dengan memperhatikan dampaknya terhadap perkembangan obyek dan daya
tarik wisata.
3. Kebijakan
Pengembangan Produk Wisata
a.
Asas keberlanjutan (sustainibility), keserasian
(harmonizes), keterjangkauan (affordability) dan kerakyatan merupakan landasan
pokok dalam pengembangan produk wisata.
· Keberlanjutan mengandung arti : pengembangan
produk wisata bukan hanya ditujukkan bagi pengembangan saat ini saja, tetapi
juga untuk masa yang akan datang.
· Harmonisasi mengandung arti : pengembangan
produk wisata yang bernuansa lingkungan hidup, yaitu dengan selalu
memperhatikan kelestarian alam, adat istiadat dan budaya daerah.
· Keterjangkauan mengandung arti : pengembangan
produk wisata tidak hanya ditujukan bagi kalangan tertentu, tetapi produk
wisata yang dikembangkan tersebut harus dapat dinikmati oleh segenap lapisan
masyarakat.
· Kerakyatan mengandung arti : pengembangan produk
wisata tidak hanya menguntungkan beberapa golongan tertentu tetapi harus dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat terutama masyarakat sekitar obyek dean
potensi wisata yang bersangkutan.
b.
Pengembangan produk wisata diarahkan bagi penguatan
identitas daerah yang dapat memunculkan “warna” pariwisata Kabupaten Demak yang
khas serta memiliki nilai religi yang sangat tinggi sebagai “Kota Wali” oleh
karenanya diperlukan penggalian, penataan dan pengembangan produk wisata.
c.
Perlunya penetapan produk wisata unggulan bagi
Kabupaten Demak sebagai faktor penarik utama bagi pengembangan wisata Masjid
Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro di Kabupaten Demak.
d.
Obyek dan daya tarik wisata budaya dan kesenian daerah
serta event-event pariwisata masih harus didukung oleh Pemerintah Daerah melaui
pengembangan dan pematapan pembinaan seni budaya dan penyelenggaraan event seni
budaya tertentu.
4. Kebijakan
Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata
a.
Pengembangan obyek dan daya tarik wisata menyangkut
aspek perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian yang satu sama lainnya
merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, oleh karenanya pembangunan obyek dan
daya tarik wisata harus didasarkan pada sistem perencanaan.
b.
Pengembangan obyek dan daya tarik wisata dilakukan
berdasarkan pendekatan pembangunan Satuan Kawasan Wisata dengan nuansa nilai
agama, budaya, estetika dan moral yang dianut oleh masyarakat.
c.
Pengembangan obyek dan daya tarik wisata dilakukan
sesuai dengan mekanisme pasar dan meliputi wisata ziarah, wisata alam, wisata
budaya, wisata minat khusus, wisata pantai dan wisata petualangan.
5. Kebijakan
Pengembangan Sarana dan Prasarana Pariwisata
a.
Penyiapan sistem perencanaan Tata Ruang Kawasan Wisata.
b.
Meningkatkan aksesibilitas ke kawasan wisata.
c.
Pemenuhan fasilitas standar (fasilitas kesehatan,
keamanan, kebersihan, komonikasi) di kawasan wisata sesuai dengan kebutuhan.
d.
Menarik investor untuk membangun akomodasi dan
fasilitas penunjang lainnya.
6. Kebijakan
Pemasaran dan Promosi Wisata
a.
Penataan dan pengembangan sistem informasi pariwisata
yang efektif secara komprehensif dengan akses pasar dalam dan luar negeri.
b.
Mengembangkan pola kerjasama promosi antar daerah dan
dengan dunia usaha pariwisata.
c.
Mengikuti pelaksanaan event promosi di tingkat
internasional, nasional, regional maupun penyelenggaraan kegiatan promosi
dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan festival kepariwisataan di daerah.
1.5.2.2.2. Dampak Kebijakan Penataan Terhadap PKL
Masalah kebijakan merupakan
sebuah fenomena yang memang harus ada mengingat tidak semua kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dapat diterima oleh seluruh masyarakat.Tak jarang
kebijakan dari pemerintah itu justru menimbulkan masalah baru di dalam
masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah dalam
memberdayakan para pedagang kaki lima. Kebijakan tatanan kota yang merujuk pada
ketertiban dan keindahan kota menjadikan sebuah harga mahal bagi kehadiran para
pedagang kaki lima
Pemerintah merasa telah
melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang
kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi penolakan
terhadap rencana relokasi ini.
Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena
adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;
a. Dalam
membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen
tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak
diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim
yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh
Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala
Dinas Perindustrian, Perdagangan, danKoperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.
b. Adanya
perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah
dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik
diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah seringkali
menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang
terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu
antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap
Pemerintahtidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan
relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi
tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah atas
proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan
ketidakjelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah, sehingga
pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.
Dalam perencanaan tata kota,
relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai dari tahap penentuan lokasi hingga
kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannya adalah penciptaan forum
stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses ke
proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya serius untuk mendengarkan aspirasi
para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi masing-masing sehingga
program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.
1.5.3. Kebijakan PKL
1.5.3.1. PKL
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah
suatu bentuk perdagangan yang memiliki keunikan tersendiri.Keberadaannya sudah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suatu masyarakat. Dimana ada keramaian
pasti akan menghadirkan pedagang kaki lima. Walaupun keberadaannya kadang
menimbulkan masalah tetapi juga membawa arti positif.Pedagang Kaki Lima (PKL)
hadir untuk mengisi kesenjangan antara pembeli dan penjual di sektor
formal.Istilah “kaki lima” sendiri pada awalnya adalah suatu gambaran yang
merujuk pada gerobak dengan tiga tumpuan untuk menjual sesuatu.Ditambah kaki
penjual maka munculah sebutan “kaki lima”. Menurut Karafir (1987 : 75),
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang kecil yang berjualan di suatu tempat
umum seperti tepi jalan, taman-taman, emperan toko dan pasar tanpa ijin usaha
dari pemerintah dengan ciri-ciri yang terdapat pada para PKL adalah sifat
spesialisasi dalam kelompok barang atau jasa yang diperdagangkannya.
Beberapa pengertian di atas
diberikan untuk memudahkan kita mengerti apa itu PKL, tetapi meskipun begitu
sekarang ini hampir semua modus berjualan yang tergolong sektor informal
disebut kaki lima, padahal banyak diantaranya yang sudah tidak mobile lagi. Ada
yang mangkal di satu tempat pada jam-jam tertentu.Tempat dagangannya pun sudah
berubah dari bongkar pasang menjadi berbentuk bangunan sementara, bahkan ada
yang permanen dan dijadikan pula sebagai tempat tinggal.Penyamaan arti ini
sebenarnya dilakukan oleh masyarakat untuk memudahkan mereka dalam menyebut dan
menggambarkan PKL. Untuk lebih memahaminya di bawah ini akan diuaraikan secara
lebih jauh mengenai PKL yang merupakan bagian dari kegiatan ekonomi sektor
informal.
Adanya PKL di tempat tertentu
tidak dapat dipisahkan dari sejarah kemunculan sektor informal.Sektor informal
sendiri lahir sebagai suatu solusi yang dilakukan oleh masyarakat dalam
mengatasi ketimpangan ketenagakerjaan.Ketimpangan terjadi karena lapangan kerja
formal tidak seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang sangat besar.Ketimpangan
ini makin rumit, karena tenaga kerja yang tersedia pada umumnya berpendidikan
rendah dan mempunyai keahlian yang relatif rendah, sedangkan lapangan kerja
formal begitu menuntut pengetahuan dan kemampuan yang tinggi.Alternatif
penampungan pengangguran potensial itu sampai sekarang sebagain besar terdapat
dalam kegiatan sektor informal.Tidak adanya peraturan yang mengikat membuat
mobilitas angkatan kerja dalam sektor informal menjadi tinggi.Hal ini merupakan
salah satu faktor utama yang mempermudah tenaga kerja memasuki sektor ini.
Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan yang
isinya antara lain :
1.
Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang
telah disediakan berupa kios-kios.
2.
Kios-kios tersebut disediakan secara gratis..
3.
Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4.
Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90
hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Kegagalan dan Keberhasilan sebuah Kebijakan penataan kawasan wisata terhadap
PKL.
A.
Faktor-faktor yang mendorong kebijakan penataan.
·
Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan
keputusan badan pemerintah.
·
Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan.
·
Adanya keyakinan bahea kebijakan itu dibuat
secara sah, konstitusional dan dibuat oleh pejabat pemerintah yang berwenang
untuk itu serta melalui prosedur yang benar.
·
Adanya kepentingan pribadi.
·
Adanya hukuman-hukuman tertentu bila tidak
melaksanakan kebijakan.
·
Masalah waktu.
B.
Faktor-faktor yang menghambat kebijakan penataan.
·
Kebijakan yang bertentangan dengan system
masyarakat.
·
Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap
hukum.
·
Keanggotaan seseorang dalam suatu perkumpulan
atau kelompok.
·
Adanya ketidakpastian hukum.
1.5.3.2. Dampak kebijakan Penataan Kawasan Wisata
Terhadap sikap penolakan para PKL
Sikap para PKL selaku kelompok
sasaran dari suatu kebijakan akan memepengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan. Karena dari para sikap PKL yang diperlihatkan di lapangan dapat
diketahui apakah para PKL mendukung atau tidak mendukung kebijakan tentang
pengaturan dan pembinaan PKL. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kepatuhan para
PKL terhadap kebijkan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Demak
sehingga tentunya para PKL akan berusaha untuk tidak melanggar kebijakan
tersebut. Namun selama ini PKL cenderung menolak apabila Pemerintah Kabupaten
Demak akan melakukan penertiban di area Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan
Demak Bintoro. Sikap penolakan ini yang menyebabkan kegagalan implementasi
kebijakan.
1.6. Definisi Konsep
Konsep adalah mengenai suatu
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah kejadian,
keadaan kelompok/individu tertentu.Konsep diperlukan agar tidak menimbulkan
berbagai penafsiran yang berbeda antara pembaca dan peneliti. Definisi konsep
yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini adalah :
1.
Pariwisata Ziarah adalah : suatu perjalanan wisata yang
dilakukan oleh sekelompok orang atau individu ke tempat–tempat suci, ke
makam–makam orang besar atau pemimpin yang diagungkan atau peningggalan sejarah
religi berupa kerajaan dan masjid-masjid atau tempat beribadah peninggalan
tokoh agama yang pernah diagungkan pada masa itu, dengan tujuan memperoleh
restu, kekuatan batin, keteguhan iman dan tidak jarang pula untuk tujuan
memperoleh berkah.
2.
Pengembangan Wisata adalah : usaha yang dilakukan oleh
pemerintah dalam usaha mengembangkan suatu obyek atau tempat wisata di daerah
untuk memajukan kota dan tempat wisata menjadi kota wisata yang besar di
Indonesia dan menambah pendapatan daerah demi kepentingan masyarakat di daerah.
3.
Penataan Kawasan Wisata adalah : suatu proses, cara
untuk mengatur dan menata kawasan wisata dan PKL yang ada di kawasan wisata
dengan cara merelokasi tempat melalui pembangunan tempat istirahat dan
pembangunan shelter dan tenda berdasarkan jumlah PKL yang adadi kawasan
wisata dan dibuat atau disediakan oleh pemerintah kabupaten atau kota guna
mencapai tujuan yang sama yaitu ketertiban dan keindahan ruang.
1.7. Metode Penelitian
1.7.1.Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
dipahami. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang Kebijakan Pemerintah Kabupaten
Demak dalam pengembangan tempat wisata dan penataan PKL di lokasi wisata
Kabupaten Demak terutama di Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak
Bintoro, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang melukiskan sifat-sifat suatu individu, gejala, keadaan,
fenomena yang dapat berupa kata-kata, gambar dan bukan angka.Tujuannya adalah
memecahkan suatu masalah, menuturkan, menganalisis, mengklasifikasikan serta
membandingkan untuk kemudian diperoleh kesimpulan.Laporan penelitian akan berisi
kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian lapangan tersebut. Data
tersebut bisa berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto,
video/tape, dokumen pribadi, memo dan dokumen resmi lainnya.
Jika dipandang dari
karakteristik masalah yang dihadapi, maka dalam penelitian deskriptif ini
terdapat “batas” yang ditentukan oleh fokus”.Penelitian kualitatif menghendaki
ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul dalam
masalah penelitian.Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam
penelitiannya atas dasar fokus yang timbul dalam masalah penelitian.
Hal tersebut disebabkan oleh
beberapa hal seperti :
·
Batas
menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam focus.
·
Penetapan
fokus lebih dapat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus. Dengan
kata lain, bagaimanapun penetapan fokus sebagai masalah penelitian penting
artinya dalam usaha menemukan batas penelitian.
Dalam hal ini obyek yang akan
diteliti dipandang sebagai suatu kasus yang akan diteliti secara mendalam
karenanya penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Data yang
terkumpul dari pendekatan studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang
terintegrasi yang tujuannya agar mendapat pengetahuan yang mendalam tentang
obyek yang bersangkutan.Setelah data terangkum dituangkan dalam sebuah
deskripsi secara umum berdasarkan hasil penelitian yang mudah dicerna,
dipahami, untuk selanjutnya memungkinkan untuk ditarik sebuah kesimpulan dari
penelitian yang telah dilakukan.
1.7.2.Data yang dibutuhkan
1.
Data Primer berupa hasil wawancara dengan pihak-pihak
yang terkait dengan permasalahan, baik dari Pemerintah Kabupaten Demak maupun
dari pedagang yang ada di Kawasan Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak
Bintoro.
2.
Data Sekunder berupa gambaran wisata dan PKL di
Kabupaten Demak, yang berada di Kawasan Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan
Demak Bintoro. Data mengenai wilayah Kabupaten Demak, khususnya yang
berhubungan dengan pengembangan wisata Kabupaten Demak dan penataannya. Selain
itu data sekunder juga diambil dari media massa maupun sumber tertulis lainnya
untuk mengetahui perkembangan tentang masalah yang diangkat.
1.7.3.Teknik Pengumpulan Data
Dalam setiap penelitian di
samping penggunaan metode yang tepat, juga diperlukan kemampuan memilih teknik
pengumpulan data yang relevan.Beberapa teknik yang populer dalam penelitian
kualitatif adalah wawancara dengan informan yang mengerti permasalahan, studi
pustaka di samping hasil observasi lapangan. Dalam penelitian ini karena kualitatif
maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah interview dengan pihak-pihak
yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat, dalam hal ini yang menjadi
informan penting adalah orang yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan
Kebijakan dalam pengembangan wisata dan penataan PKL di lokasi wisata Kabupaten
Demak. Oleh karena itu sebagai sumber informasi utama penulis akan melakukan
wawancara dengan beberapa dinas terkait serta tidak menutup kemungkinan
melakukan pula wawancara dengan dinas-dinas lainnya untuk mendapatkan informasi
tambahan. Mengingat penelitian ini dilakukan di lingkungan Pemerintah Kabupaten
Demak maka yang menjadi responden adalah staf dari dinas-dinas terkait yang
telah ditunjuk oleh masing-masing Kepala Bagian untuk membantu penulis.
No comments:
Post a Comment