Featured post

Perkembangan Organisasi Budi Utomo

Perkembangan Organisasi Budi Utomo Berikut simak juga ulasan tentang sejarah berdirinya organisasi Budi Utomo. Organisasi Budi Utomo (...

Saturday, 24 September 2016

Contoh pembuatan Seminar Proposal Skripsi


Guys, dibawah ini adalah contoh pembuatan seminar proposal yg bisa diangkat menjadi karya tulis (Skripsi).Mudah2an bisa menjadi reverensi yg menarik buat anda2 semua. Silahkan di edit2 sendiri ya di microsoft word anda semuanya. Hehe... Ini adalah karya ilmiah yg saya susun sendiri menjadi skripsi.

CONTOH SEMINAR PROPOSAL SKRIPSI
BAB I
PENDAHULUAN

hello guys..
this is destination on vacation.
look at that >> Pesona Indonesia 
TRIK SULAP ROKOK 

1.1. Latar Belakang Masalah
Pariwisata mempunyai beberapa ragam dan jenis yaitu meliputi wisata argo, wisata bahari, wisata minat khusus, wisata budaya serta wisata religiyang salah salah satu bentuknya adalah “wisata ziarah”. Setiap wisatawan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Namun demikian, seiring dengan perkembangan jaman, maka tuntutan para wisatawan akan terus semakin bervariasi. Oleh karena itu, kita perlu mengantisipasi perkembangan ini dengan meningkatkan kualitas pelayanan dan manajemen yang lebih profesional (Laporan akhir Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pem Kab Demak, 2007).
Di Kabupaten Demak banyak mempunyai obyek wisata diantaranya adalah Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro yang terletak disamping masjid itu sendiri. Kita tahu wisata ziarah ini berkaitan dengan peninggalan sejarah yang sudah berkembang sejak lama. Meski mempunyai bebagai potensi ternyata pendapatan yang masuk ke daerah dari aspek itu belum terlalu besar. Karena mereka yang datang kebanyakan bukan wisatawan tetapi peziarah yang tidak bermaksud untuk untuk membelanjakan uangnya untuk bersenang-senang. Pemasukan ke kas Pemda masih terbatas pada retribusi parkir dan retribusi para pedagang yang dulu berada didepan masjid agung.
Sejak 6 Maret 2004, Masjid Agung Demak telah ditetapkan oleh PemerintahPusat sebagai salah satu cagar budaya nasional. Masjid yang didirikan pada tahun 1466 oleh Raden Fatah bersama sembilan wali (walisongo) itu memang memiliki sejarah yang penting, terutama bagi kaum muslimin di pulau Jawa. Status ini memiliki potensi yang menarik bagi para wisatawan, selama tahun 2006 tercatat pengunjung di Demak mencapai 624.234 orang, dan 488 diantaranya adalah para wisatawan mancanegara (Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak,2006)
Akan tetapi, tingginya minat wisatawan ini belum didukungoleh infrastruktur pariwisata yang memadai. Akhirnya sebagian warga Kabupaten Demak memilih untuk berwisata kedaerah lain yang memiliki tempat wisata. Karena keterbatasan sarana dan prasarana seperti itu banyak sebagian wisatawan lebih suka menginap di kota Semarang. Karena memang Kota “Wali” ini hanya memiliki hotel kelas melati, yakni Hotel Sederhana, wisma wisatawan yang terletak di kadilangu, Hotel Wijaya kusuma, dan Hotel Citra Alam. Karena itu lah Demak hanya menjadi kota ampiran dan persinggahan bagi para pengguna jalan dan wisatawan peziarah.
Maka dari itu Pemerintah Kabupaten Demak melakukan suatu gebrakan untuk kawasan wisata Masjid Agung Demak, dengan mendirikan unit usaha angkutan dan biro wisata sejak tahun 2004, itu adalah langkah yang sudah tepat. Akan tetapi langkah itu belumlah cukup. Pengembangan pariwisata harus merupakan langkah yang komperhensif dan terintegrasi, meliputi lima unsur yang penting (spillane, 1994 : 69) yakni : (dikutip dari Laporan akhir Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pem Kab Demak, 2007)
a.       Atraction (adanya pertunjukan yang menarik para wisatawan),
b.      Facilities (adanya fasilitas-fasilitas yang diperlukan),
c.       Infrastructure (adanya infrastruktur yang diperlukan),
d.      Transportation (adanya jasa pengangkutanyang nyaman) dan,
e.       Hospitality (kesediaan untuk menerima tamu dengan ramah dan mengesankan).
Selain itu, Pedagang kaki lima (PKL) yang ada di tempat wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro tersebut juga harus dan perlu diperhatikan juga keberadaannya agar tidak mengganggu kenyamanan para wisatawan dan tamu untuk berziarah. Pada dasarnya para pelaku usaha PKL biasanya berasal dari kalangan perekonomian menengah ke bawah, berpendidikan rendah, dengan modal usaha yang relatif kecil, serta para masyarakat pedesaan yang melakukan urbanisasi ke kota guna mencari peruntungan yang lebih baik dari pada di desa. Pada awalnya, keberadaan PKL di Area Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintorohanya berlangsung di alun-alun kota saja dan hanya hari-hari besar saja melakukan aktifitasnya. Namun, waktu itu keberadaan PKL dianggap tidak mengganggu kepentingan umum, para pengunjung Masjid Agung Demak dan peziarah Makam Kesultanan Demak Bintoro.
Setiap daerah menghadapi masalah dalam pelaksanaan proses pembangunannya, demikian pula dengan Pemerintah Kabupaten Demak, rencana Pemerintah Kabupaten Demak untuk merelokasi para PKL di kawasan Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro, yang menurut Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2004 “ Tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima”, yang tertuang dalam BAB II Pasal 2 “Tentang Pengaturan Tempat Usaha” Pemerintah Kabupaten Demak mengupayakan bahwa PKL yang berada di lokasi tersebut akan dipindahkan di daerah Tembiring Demak, tapi berhubung jarak antara Masjid Agung Demak dan Tembiring cukup jauh dan hanya transportasi ojek dan andong, maka PKL berontak dan merasa keberatan dan akan tetap menetap di kawasan Masjid Agung Demak tepatnya dibelakang dan disamping Masjidyang menuju ke  Terminal dan tempat peristirahatan, dan di Tembiring tetap digunakan sebagai tempat peristirahatan dan Terminal Pariwisata keduapada saat pagi sampai sore hari, setelah malam hari maka Terminal pariwisata Masjid Agung Demak berada disamping Masjid yang sudah disediakan untuk parkir Bus dan kendaraan pribadi.
  Keberadaan PKL memberikan pengaruh yang sangat penting bagi Pemerintah Kabupaten Demak untuk melakukan upaya penataan PKL demi ketertiban dan keindahan kota Kabupaten Demak sebagai pusat pariwisata ziarah. Pemerintah tidak bisa sewenang-wenang menertibkan atau bahkan menghentikan kegiatan usaha PKL tersebut karena itu menyangkut mata pencaharian orang banyak, yang tentunya apabila mereka tidak mempunyai penghasilan akan menimbulkan berbagai macam persoalan baru. Dari bertambahnya angka pengangguran, kriminalitas serta masalah-masalah sosial lainnya. Akan tetapi menjamurnya keberadaan PKL bukannya tidak menimbulkan masalah bila mereka dibiarkan tumbuh secara liar tanpa adanya aturan akan menganggu kepentingan umum dan membuat wajah kota pariwisata semakin semrawut, seperti menyebabkan kemacetan lalu lintas, kawasan menjadi kotor, mengganggu kenyamanan pejalan kaki dan yang lebih penting lagi adalah disekitar Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro yang menjadi Sejarah dan Mahkota Religi diKabupaten Demak. Itu sangat mengganggu para pengunjung atau peziarahyang akan merasa terganggu dalam ibadahnya di dalam Masjid maupun berziarah ke Makam Kesultanan Demak Bintoro.
Pelaksanaan kebijakan tentang pengembangan wisata, penataan, dan pembinaan PKL di lokasi wisata Kabupaten Demak, menjumpai berbagai masalah di lapangan sehingga berpengaruh terhadap keberhasilan kebijakan tersebut.
Hal ini terlihat dari fenomena yang di temui di lapangan :
1.      Adanya penjarahan ruang publik dan mengganggu proses beribadah para pengunjung Masjid Agung Demak, Makam Kesultanan Demak Bintoro. Jika dilihat dari sudut pandang ini Pemerintah Kabupaten Demak secara moral memang harus bertanggungjawab akibat dari penertiban tersebut. Bentuk tanggungjawab itu berupa pemindahan para pedagang ke lokasi baru dan memberikan ruang yang cukup luas kepada pengunjung untuk beribadah dan merasa nyaman. Untuk mewujudkan niat tersebut pemerintah harus melakukan kebijakan, berupa :
·         Memberikan kesempatan para pengunjung untuk beribadah dengan khusyuk jauh dari keramaian para pedagang yang ada disekitar Masjid dan Makam.
·         Melarang keras pedagang berjualan didalam lingkungan Masjid dan Makam yang akan menggangu para pengunjung dan peziarah.
·         Memberikan fasilitas tempat peristirahatan kepada para pengunjung atau peziarah.
·         Memberikan tempat berjualan di daerah Tembiring yang sudah dibangunkan kios-kios untuk berjualan yang sifatnya permanen.
·         Di belakang dan disamping Masjid dan Makam yang menuju ke  Terminal sudah disediakan Tempat untuk berjualan para pedagang.
2.      Adanya pelanggaran yang dilakukan oleh para PKL sehingga bertentangan dengan kebijakan yang di tetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Demak, seperti :
·         Mendirikan bangunan permanen
·         Melakukan aktifitas usahanya setiap hari
·         Membuat lingkungan menjadi kotor
·     Membuka usahanya di depan pintu masuk Masjid Agung Demak sehingga      membuat macet lalu lintas dan mengganggu pengunjung untuk beribadah.

Kehadiran sektor informal ini sangat memegang peranan penting dalam kehidupan, karena dapat menunjang tersedianya lapangan kerja dan merupakan sumber pendapatan yang potensial bagi penduduk. Terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, sehingga daerah berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya, salah satunya dengan  diadakannya retribusi bagi sektor informal yang berkaitan dalam perekonomian kota.
Menurut Manning & Effendi (1991 : 113), pandangan yang meyakini bahwa sektor informal sebagai benih-benih kewiraswastaan yang berfungsi mendorong pertumbuhan ekonomi kota.  Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu bentuk dari sektor informal tersebut karena PKL merupakan unit perekonomian berskala kecil lebih memfokuskan kepada produksi maupun distribusi barang-barang atau jasa yang ruang lingkupnya hanya sebatas daerah atau wilayah tempat tinggalnya. Dalam artian produk-produk atau jasa yang didistribusikan maupun yang dihasilkan oleh PKL hanya sanggup digunakan untuk memenuhi permintaan akan kebutuhan masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka maupun masyarakat di sekitar tempat PKL tersebut menjalankan usahanya.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis berusaha untuk mengangkat tema tersebut sebagai proposal skripsi dengan judul “KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WISATA DAN PENATAAN KAWASAN WISATA MASJID AGUNG DEMAK DAN MAKAM KESULTANAN DEMAK BINTORO OLEH PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK PERIODE 2007”. Judul ini penulis pilih untuk mengetahui upaya Pemerintah Kabupaten Demak dalam usahanya mencari jalan keluar terhadap pengembangan wisata,penataan kawasan, dan permasalahan PKL yang ada di sekitar kawasan Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro, dan bagaimana reaksi para pedagang yang merupakan objek dari upaya tersebut.

1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
·        Bagaimanakah upaya Pemerintah Kabupaten Demak dalam melakukan pengembangan wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro.
·     Bagaimanakah upaya kebijakan penataan pariwisata Pemerintah Kabupaten Demak terhadapPKL yang berada dikawasan wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro.

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1.   Untuk mengetahui bagaimana upaya Pemerintah Kabupaten Demak dalam pengembangan wisata dan penataan kawasan wisata di Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro.
2.     Untuk mengetahui bagaimana upaya kebijakan penataan pariwisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Demak terhadap PKL yang berada di kawasan wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi atas tiga kategori utama yakni:
1.      Manfaat bagi peneliti.
Untuk mengetahui kebijakan Pemerintah Kabupaten Demak dalam upayapengembangan wisata dan penataan kawasan wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoroterhadap PKL di kawasan wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro.
2.      Manfaat bagi lembaga pendidikan
Untuk memperkaya khasanah penelitian kebijakan pengembangan wisata dan penataan PKL yang ada didalamnya.
3.      Manfaat bagi pembaca
Untuk menambah wawasan dan referensi tentang penelitian kebijakan pengembangan wisata dan penataan PKL.
  
1.5. KERANGKA TEORI
1.5.1. Kebijakan Penataan Kawasan Wisata Ziarah.
1.5.1.1. Wisata, Pariwisata, dan Wisatawan.
Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi, dalam jangka waktu sementara (Ismayanti, 2010 : 3).
Menurut UU no. 9 tahun 1990, kata wisata diberi pengertian sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Sedangkan pariwisata dalam UU yang sama diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata. Termasuk pengusahaan obyek wisata dan daya tarik wisata (Laporan akhir Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pem Kab Demak, 2007).
Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang diberikan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah (Ismayanti, 2010 : 3). Pariwisata merupakan komoditi dalam pasar dan politik ekonomi global. Kaitannya antara hal-hal yang eksotis (sesuatu yang asing yang belum diketahui). Kebutuhan akan hiburan dan pembangunan nasional merupakan salah satu jawaban penting mengapa industri pariwisata perlu dikelola secara tepat. Terlebih tetangga semakin ketat. Sampai saat ini pariwisata di indonesia masih belum membaikapabila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.
Hal ini terjadi karena bermacam-macam penyebab antara lain bisa disebutkan (Laporan akhir Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pem Kab Demak, 2007) :
1.      Masih rendahnya kesadaran potensi pariwisata dikalangan pemerintah maupun masyarakat.
2.      Belum adanya pengembangan pariwisata secara terpadu.
3.      Iklim investasi belum dikembangkan maksimal untuk menarik modal pengembangan investasi.
4.      Masih terbatasnya kemampuan sarana wisata tertentu didaerah.
5.      Lemahnya promosi dan koordinasi antar pemegang kebijakan sektor pariwisata-ekonomi.
6.      Belum optimalnya perencanaan strategi promosi dari pemegang kebijakan (stakeholders) mulai dari pemerintah dan pelaku usaha pariwisata.
  
Wisatawan dikenal sebagai orang-orang yang melakukan kegiatan wisata (Ismayanti, 2010 : 3). Pasific Area Travel Association (PATA) memberikan pengertian wisata sebagai orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan dalam jangka waktu 24 jam dan maksimal 3 (tiga) bulan di dalam suatu negri bukan negri dimana ia berasal dan tinggal (Pendit, 1995). Mereka meliputi:
a.  Orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan untuk bersenang-senang untuk keperluan pribadi, untuk keperluan kesehatan.
b. Orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan untuk pertemuan, konfrensi, musyawarah, atau sebagai utusan berbagai badan atau organisasi.
c.      Orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan dengan maksud bisnis.
d.      Pejabat pemerintahan dan militer beserta keluarganya yang ditempatkan di negara lain tidak termasuk dalam kategori ini. Akan tetapi bila mereka mengadakan perjalanan ke negri lain, maka mereka juga dapat digolongkan sebagai wisatawan.

Wisatawan mengadakan perjalanan wisata karena didorong oleh berbagai motif yang tercermin dalam berbagai macam jenis pariwisata. Disamping hal-hal tersebut diatas, pembangunan kepariwisataan juga akan memacu sektor informal, untuk menyediakan berbagai produk barang dan jasa bagi kebutuhan dan keinginan wisatawan seperti barang cendera mata, makanan, jasa hotel, dan juga kebutuhan pemandu wisata. Sebagai mesin penggerak ekonomi, pariwisata merupakan kegiatan yang sangat potensial mengurangi angka pengangguran.
Harapan peningkatan ekonomi melalui pariwisata wajar mengingat potensi kecenderungan naiknya wisatawan pada masa mendatangsemakin kelihatan. Akan tetapi hasil penelitian awal menunjukkan, ada pemerintah daerah yang selama ini menangani sektor pariwisata belum melibatkan para para pengembangan promosi pariwisata daerah. Hal ini bisa terlihat dalam APBD di masing-masing daerah, dimana penempatan pos anggaran yang ada kurang mencerminkan pengembangan sektor pariwisata dengan lebih terarah. Dalam hal ini perlibatan para pelaku usaha wisata menjadi penting mengingat mereka adalah bagian tak terpisahkan dari industri pariwisata.
Menyadari ha-hal tersebut diatas maka sebenarnya ada tiga unsur pokok yang secara terpadu perlu dikelola bagi kesuksesan industri pariwisata di Indonesia yaitu : wisatawan, peran pemerintah, penyedia sarana wisata dan promotor atau perantara bisnis pariwisata. Pada hakekatnya industri pariwisata merupakan industru yang amat rentan akan gangguan keamanan, sekalipun diakui bahwa ekonomi merupakan faktor menentukan kegiatan pariwisatasangat disadari oleh pembuat kebijakan pemerintah bahwa pariwisata adalah “clean and safe indutry”. Oleh karena itu maka pengembangan industri pariwisata di Indonesia mensyaratkan adanya berbagai jaminan agar lingkungan (sosial, politik, ekonomi dan budaya) selalu berada kondisi baik dan terjamin keamanannya.



1.5.1.2. Pariwisata Ziarah
Kata “ziarah” berasal dari bahasa arab “zara, yazuru, ziaratun”, artinya berkunjung atau pergi menengok. Sedang dalam kamus besar bahasa indonesia (balai pustaka), kata ziarah diartikan dengan berkunjung ketempat yang dianggap mulia, makam dan sebagainya. Bagi sebagian masyarakat indonesia, terutama kaum muslimin, kegiatan ziarah sering dihubungkan dengan kegiatan ziarah kubur. Bagi sebagian kaum muslimin, termasuk dipulau jawa, ziarah ke kubur sudah menjadi tradisi/kebiasaan yang sudah lama turun temurun, terutama menjelang hari-hari baik seperti : pada bulan suci Ramadhan, menjelang hari Raya Idul Fitri, pada hari malam Jum’at, hari haul (ulang tahun) tokoh/ulama yang dihormati. Disamping itu juga ada ziarah kubur yang dilakukan secara resmi pemerintah dalam acara besar nasional seperti : pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Hari Pahlawan, dan sebagainya.
Dengan demikian, pengertian pariwisata ziarah adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan dengan peerjalan mengunjungi atau pergi menengok ke tempat-tempatyang dianggap mulia (makam para wali, dan sebagainya) dengan tujuan mendapatkan ketenangan, kedamaian, dan memulihkan kembali kesegaran rohani.

1.5.2. Kebijakan Penataan Kawasan Wisata.
1.5.2.1. Kebijakan Publik.
Kebijakan publik menurut Thomas Dye adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is what goverment do, why they do it, and what difference it makes). Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah bukan organisasi swasta dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah (Badjuri dan Yuwono , 2002 : 8).
 Menurut James E. Anderson , “Public policies are those policies developed by governmental bodies and official”. (Kebijakan negara adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan dan pejabat-pejabat pemerintah).  Menurut Anderson implikasi dari kebijakan negara tersebut adalah : (M. Irfan Islamy, 2004 :  4)
a.       Bahwa kebijakan negara itu selalu punya tujuan tertentu atau merupakan    tindakan yang berorientasi pada tujuan.
b.      Bahwa kebijakan itu berisi tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
c.       Bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah.
d.      Bahwa kebijakan negara itu bersifat positif dalam arti merupakan beberapa tindakan pemerintah mengenai masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah dalam melakukan sesuatu.

Menurut Jenkins, Kebijakan publik adalah sebuah rangkaian yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan daripada aktor tersebut (Solichin Abdul  Wahab, 1990 : 29).
Amir Santoso mengatakan bahwa kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua kategori, pertama kebijakan publik disamakan dengan tindakan-tindakan pemerintah, kedua kebijakan adalah serangkaian instrukasi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (Budi Winarno, 2007 : 19).
Menurut Harold Lasswell dan Abraham Kaplan bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek sosial yang ada dalam masyarakat (AG Subarsono, 2005 : 3). Sementara menurut David Easton bahwakebijakan publik adalah sebagai “ Pengalokasian nilai-nilai secara paksa (sah) kepada seluruh anggota masyarakat”(M. Irfan Islamy. 2004 :  9). Carl Freidrich mengatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau Pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan atau kesulitan-kesulitan dan kemungkinan-kemungkinan/ kesempatan-kesempatan dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yag dimaksud (D. Riant  Nugroho, 2007 : 4).
Dalam konsep lainnya seorang pakar bernama William N. Dunn mengatakan proses analisis kebijakan publik merupakan serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis itu nampak pada serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sementara aktivitas perumusan masalah sampai pada  evaluasi kebijakan sebagai aktivitas yang lebih bersifat intelektual, dapat dilihat dibawah ini :
a.       Fase Penyusunan agenda (agenda setting), para pejabat yang dipilih menempatkan masalah kebijakan pada agenda publik.
b.      Fase Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni suatu proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.
c.       Penetapan kebijakan (decision making), yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan.
d.      Implementasi kebijakan (policy implementation), yakni proses melaksanakan kebijakan agar berhasil. Kebijakan yang telah diambildilaksanakan oleh unit-unti administrasi dengan menggunakan sumber daya yang dimilikinya.
e.       Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan. 

Wibowo Eddi menyebutkan, bahwa dalam konteks pemahaman mengenai budaya yang terfokus pada organisasi pemerintahan, kebijakan publik adalah produk budaya dari salah sebuah institusi yaitu organisasi pemerintah. Kebijakan publik juga merupakan serangkaian sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia, dalam rangka kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya, dan dicapai dengan belajar (Eddi Wibowo. T. Saifful. B, Hessel Nogi S. T, YPAPI, 2009 : 7).
Dari beberapa definisi diatas dapat dirumuskan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan dan ditetapkan oleh pemerintah atau pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan dimana kebijakan tersebut diformulasikan, diimplementasikan, dan dievaluasi. Suatu kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik bila tidak dirumuskan, disahkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah. Bila telah disahkan, maka kebijakan akan memiliki nilai otoritatif. Artinya dapat dialokasikan kepada seluruh masyarakat atau kelompok masyarakat. Bagi anggota masyarakat yang tidak mentaati maka akan dikenakan sanksi (Charles E Lindblom, 1991 : 3).
Kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah bagaimanapun harus dilaksanakan untuk mencapai target atau sasaran yang telah direncanakan. Oleh karena itu maka suatu kebijakan harus melewati suatu tahapan implementasi kebijakan publik setelah diformulasikan pemerintah. Dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji lebih dalam mengenai implementasi kebijakan pengembangan wisata dan penataan kawasan Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro di Kabupaten Demak.

1.5.2.2. Kebijakan Pengembangan Dan Penataan Kawasan Wisata.
1.5.2.2.1. Kebijakan Pengembangan dan Penataan Pariwisata.

Kebijakan pengembangan dan penataan kawasan wisata meliputi beberapa kebijakan diantaranya adalah :
1. Kebijakan Pokok
a.       Mewadahi, membangun dan mengembangkan manfaat potensi pariwisata sebagai kegiatan ekonomiyang menciptakan lapangan kerja.
b.      Meningkatkan kemampuan dan keterampilan aparatur serta pemberdayaan tugas dan fungsi organisasi Disparda sebagai fasilitatordan regulator pengembangan pariwisata.
c.       Meningkatkan kesempatan berusaha dan keterlibatan masyarakat dalam mengembangkan kawasan wisata
d.      Melaksanakan kerjasama pariwisata antar daerah dan dunia usaha.
2. Kebijakan penataan Spasial (keruangan) Pariwisata
a.       Memberikan arahan yang jelas bagi pengembangan wisatadi Kota Kabupaten berdasarkan karakteristik keruangannya melalui penetapan zonasi pengembangan.
b.      Untuk kemudahan pembangunan serta pengelolaannya, perlu dilakukan pengelompokkan obyek dan daya tarik wisata pada Satuan Kawasan Wisata  (SKW). Satuan-satuan kawasan wisata tersebut merupakan kawasan yang memiliki pusat-pusat kegiatan wisatawan dan mempunyai keterkaitan sirkuit atau jalur wisata.
c.       Melakukan urutan prioritas pengembangan satuan kawasan wisata dengan memperhatikan dampaknya terhadap perkembangan obyek dan daya tarik wisata.
3. Kebijakan Pengembangan Produk Wisata
a.       Asas keberlanjutan (sustainibility), keserasian (harmonizes), keterjangkauan (affordability) dan kerakyatan merupakan landasan pokok dalam pengembangan produk wisata.
·     Keberlanjutan mengandung arti : pengembangan produk wisata bukan hanya ditujukkan bagi pengembangan saat ini saja, tetapi juga untuk masa yang akan datang.
·  Harmonisasi mengandung arti : pengembangan produk wisata yang bernuansa lingkungan hidup, yaitu dengan selalu memperhatikan kelestarian alam, adat istiadat dan budaya daerah.
·      Keterjangkauan mengandung arti : pengembangan produk wisata tidak hanya ditujukan bagi kalangan tertentu, tetapi produk wisata yang dikembangkan tersebut harus dapat    dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat.
·  Kerakyatan mengandung arti : pengembangan produk wisata tidak hanya   menguntungkan beberapa golongan tertentu tetapi harus dapat memberikan manfaat  bagi masyarakat terutama masyarakat sekitar obyek dean potensi wisata yang  bersangkutan.
b.      Pengembangan produk wisata diarahkan bagi penguatan identitas daerah yang dapat memunculkan “warna” pariwisata Kabupaten Demak yang khas serta memiliki nilai religi yang sangat tinggi sebagai “Kota Wali” oleh karenanya diperlukan penggalian, penataan dan pengembangan produk wisata.
c.       Perlunya penetapan produk wisata unggulan bagi Kabupaten Demak sebagai faktor penarik utama bagi pengembangan wisata Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro di Kabupaten Demak.
d.      Obyek dan daya tarik wisata budaya dan kesenian daerah serta event-event pariwisata masih harus didukung oleh Pemerintah Daerah melaui pengembangan dan pematapan pembinaan seni budaya dan penyelenggaraan event seni budaya tertentu. 

4. Kebijakan Pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata
a.       Pengembangan obyek dan daya tarik wisata menyangkut aspek perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian yang satu sama lainnya merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, oleh karenanya pembangunan obyek dan daya tarik wisata harus didasarkan pada sistem perencanaan.
b.      Pengembangan obyek dan daya tarik wisata dilakukan berdasarkan pendekatan pembangunan Satuan Kawasan Wisata dengan nuansa nilai agama, budaya, estetika dan moral yang dianut oleh masyarakat.
c.       Pengembangan obyek dan daya tarik wisata dilakukan sesuai dengan mekanisme pasar dan meliputi wisata ziarah, wisata alam, wisata budaya, wisata minat khusus, wisata pantai dan wisata petualangan.

5. Kebijakan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pariwisata
a.       Penyiapan sistem perencanaan Tata Ruang Kawasan Wisata.
b.      Meningkatkan aksesibilitas ke kawasan wisata.
c.       Pemenuhan fasilitas standar (fasilitas kesehatan, keamanan, kebersihan, komonikasi) di kawasan wisata sesuai dengan kebutuhan.
d.      Menarik investor untuk membangun akomodasi dan fasilitas penunjang lainnya.

6. Kebijakan Pemasaran dan Promosi Wisata
a.       Penataan dan pengembangan sistem informasi pariwisata yang efektif secara komprehensif dengan akses pasar dalam dan luar negeri.
b.      Mengembangkan pola kerjasama promosi antar daerah dan dengan dunia usaha pariwisata.
c.       Mengikuti pelaksanaan event promosi di tingkat internasional, nasional, regional maupun penyelenggaraan kegiatan promosi dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan festival kepariwisataan di daerah.

1.5.2.2.2. Dampak Kebijakan Penataan Terhadap PKL
Masalah kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada mengingat tidak semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diterima oleh seluruh masyarakat.Tak jarang kebijakan dari pemerintah itu justru menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah dalam memberdayakan para pedagang kaki lima. Kebijakan tatanan kota yang merujuk pada ketertiban dan keindahan kota menjadikan sebuah harga mahal bagi kehadiran para pedagang kaki lima
Pemerintah merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini.
Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;
a.       Dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, danKoperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.
b.      Adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintahtidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidakjelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.
Dalam perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai dari tahap penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannya adalah penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya serius untuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi masing-masing sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.

1.5.3. Kebijakan PKL
1.5.3.1. PKL
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah suatu bentuk perdagangan yang memiliki keunikan tersendiri.Keberadaannya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suatu masyarakat. Dimana ada keramaian pasti akan menghadirkan pedagang kaki lima. Walaupun keberadaannya kadang menimbulkan masalah tetapi juga membawa arti positif.Pedagang Kaki Lima (PKL) hadir untuk mengisi kesenjangan antara pembeli dan penjual di sektor formal.Istilah “kaki lima” sendiri pada awalnya adalah suatu gambaran yang merujuk pada gerobak dengan tiga tumpuan untuk menjual sesuatu.Ditambah kaki penjual maka munculah sebutan “kaki lima”. Menurut Karafir (1987 : 75), Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang kecil yang berjualan di suatu tempat umum seperti tepi jalan, taman-taman, emperan toko dan pasar tanpa ijin usaha dari pemerintah dengan ciri-ciri yang terdapat pada para PKL adalah sifat spesialisasi dalam kelompok barang atau jasa yang diperdagangkannya.
Beberapa pengertian di atas diberikan untuk memudahkan kita mengerti apa itu PKL, tetapi meskipun begitu sekarang ini hampir semua modus berjualan yang tergolong sektor informal disebut kaki lima, padahal banyak diantaranya yang sudah tidak mobile lagi. Ada yang mangkal di satu tempat pada jam-jam tertentu.Tempat dagangannya pun sudah berubah dari bongkar pasang menjadi berbentuk bangunan sementara, bahkan ada yang permanen dan dijadikan pula sebagai tempat tinggal.Penyamaan arti ini sebenarnya dilakukan oleh masyarakat untuk memudahkan mereka dalam menyebut dan menggambarkan PKL. Untuk lebih memahaminya di bawah ini akan diuaraikan secara lebih jauh mengenai PKL yang merupakan bagian dari kegiatan ekonomi sektor informal.
Adanya PKL di tempat tertentu tidak dapat dipisahkan dari sejarah kemunculan sektor informal.Sektor informal sendiri lahir sebagai suatu solusi yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengatasi ketimpangan ketenagakerjaan.Ketimpangan terjadi karena lapangan kerja formal tidak seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang sangat besar.Ketimpangan ini makin rumit, karena tenaga kerja yang tersedia pada umumnya berpendidikan rendah dan mempunyai keahlian yang relatif rendah, sedangkan lapangan kerja formal begitu menuntut pengetahuan dan kemampuan yang tinggi.Alternatif penampungan pengangguran potensial itu sampai sekarang sebagain besar terdapat dalam kegiatan sektor informal.Tidak adanya peraturan yang mengikat membuat mobilitas angkatan kerja dalam sektor informal menjadi tinggi.Hal ini merupakan salah satu faktor utama yang mempermudah tenaga kerja memasuki sektor ini.
Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain :
1.      Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.
2.      Kios-kios tersebut disediakan secara gratis..
3.      Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4.      Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan dan Keberhasilan sebuah Kebijakan penataan kawasan wisata terhadap PKL.
A.    Faktor-faktor yang mendorong kebijakan penataan.
·         Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan badan pemerintah.
·         Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan.
·         Adanya keyakinan bahea kebijakan itu dibuat secara sah, konstitusional dan dibuat oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk itu serta melalui prosedur yang benar.
·         Adanya kepentingan pribadi.
·         Adanya hukuman-hukuman tertentu bila tidak melaksanakan kebijakan.
·         Masalah waktu.
B.     Faktor-faktor yang menghambat kebijakan penataan.
·         Kebijakan yang bertentangan dengan system masyarakat.
·         Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum.
·         Keanggotaan seseorang dalam suatu perkumpulan atau kelompok.
·         Adanya ketidakpastian hukum.

1.5.3.2. Dampak kebijakan Penataan Kawasan Wisata Terhadap sikap penolakan para PKL
Sikap para PKL selaku kelompok sasaran dari suatu kebijakan akan memepengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Karena dari para sikap PKL yang diperlihatkan di lapangan dapat diketahui apakah para PKL mendukung atau tidak mendukung kebijakan tentang pengaturan dan pembinaan PKL. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kepatuhan para PKL terhadap kebijkan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Demak sehingga tentunya para PKL akan berusaha untuk tidak melanggar kebijakan tersebut. Namun selama ini PKL cenderung menolak apabila Pemerintah Kabupaten Demak akan melakukan penertiban di area Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro. Sikap penolakan ini yang menyebabkan kegagalan implementasi kebijakan.

1.6. Definisi Konsep
Konsep adalah mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah kejadian, keadaan kelompok/individu tertentu.Konsep diperlukan agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda antara pembaca dan peneliti. Definisi konsep yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini adalah :
1.      Pariwisata Ziarah adalah : suatu perjalanan wisata yang dilakukan oleh sekelompok orang atau individu ke tempat–tempat suci, ke makam–makam orang besar atau pemimpin yang diagungkan atau peningggalan sejarah religi berupa kerajaan dan masjid-masjid atau tempat beribadah peninggalan tokoh agama yang pernah diagungkan pada masa itu, dengan tujuan memperoleh restu, kekuatan batin, keteguhan iman dan tidak jarang pula untuk tujuan memperoleh berkah.
2.      Pengembangan Wisata adalah : usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha mengembangkan suatu obyek atau tempat wisata di daerah untuk memajukan kota dan tempat wisata menjadi kota wisata yang besar di Indonesia dan menambah pendapatan daerah demi kepentingan masyarakat di daerah.
3.      Penataan Kawasan Wisata adalah : suatu proses, cara untuk mengatur dan menata kawasan wisata dan PKL yang ada di kawasan wisata dengan cara merelokasi tempat melalui pembangunan tempat istirahat dan pembangunan shelter dan tenda berdasarkan  jumlah PKL yang adadi kawasan wisata dan dibuat atau disediakan oleh pemerintah kabupaten atau kota guna mencapai tujuan yang sama yaitu ketertiban dan keindahan ruang.

1.7. Metode Penelitian
1.7.1.Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat dipahami. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang Kebijakan Pemerintah Kabupaten Demak dalam pengembangan tempat wisata dan penataan PKL di lokasi wisata Kabupaten Demak terutama di Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang melukiskan sifat-sifat suatu individu, gejala, keadaan, fenomena yang dapat berupa kata-kata, gambar dan bukan angka.Tujuannya adalah memecahkan suatu masalah, menuturkan, menganalisis, mengklasifikasikan serta membandingkan untuk kemudian diperoleh kesimpulan.Laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian lapangan tersebut. Data tersebut bisa berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video/tape, dokumen pribadi, memo dan dokumen resmi lainnya.
Jika dipandang dari karakteristik masalah yang dihadapi, maka dalam penelitian deskriptif ini terdapat “batas” yang ditentukan oleh fokus”.Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul dalam masalah penelitian.Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul dalam masalah penelitian.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti :
·         Batas menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam focus.
·         Penetapan fokus lebih dapat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus. Dengan kata lain, bagaimanapun penetapan fokus sebagai masalah penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian.
Dalam hal ini obyek yang akan diteliti dipandang sebagai suatu kasus yang akan diteliti secara mendalam karenanya penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Data yang terkumpul dari pendekatan studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi yang tujuannya agar mendapat pengetahuan yang mendalam tentang obyek yang bersangkutan.Setelah data terangkum dituangkan dalam sebuah deskripsi secara umum berdasarkan hasil penelitian yang mudah dicerna, dipahami, untuk selanjutnya memungkinkan untuk ditarik sebuah kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.

1.7.2.Data yang dibutuhkan
1.      Data Primer berupa hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan, baik dari Pemerintah Kabupaten Demak maupun dari pedagang yang ada di Kawasan Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro.
2.      Data Sekunder berupa gambaran wisata dan PKL di Kabupaten Demak, yang berada di Kawasan Masjid Agung Demak dan Makam Kesultanan Demak Bintoro. Data mengenai wilayah Kabupaten Demak, khususnya yang berhubungan dengan pengembangan wisata Kabupaten Demak dan penataannya. Selain itu data sekunder juga diambil dari media massa maupun sumber tertulis lainnya untuk mengetahui perkembangan tentang masalah yang diangkat.

1.7.3.Teknik Pengumpulan Data
Dalam setiap penelitian di samping penggunaan metode yang tepat, juga diperlukan kemampuan memilih teknik pengumpulan data yang relevan.Beberapa teknik yang populer dalam penelitian kualitatif adalah wawancara dengan informan yang mengerti permasalahan, studi pustaka di samping hasil observasi lapangan. Dalam penelitian ini karena kualitatif maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah interview dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat, dalam hal ini yang menjadi informan penting adalah orang yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan Kebijakan dalam pengembangan wisata dan penataan PKL di lokasi wisata Kabupaten Demak. Oleh karena itu sebagai sumber informasi utama penulis akan melakukan wawancara dengan beberapa dinas terkait serta tidak menutup kemungkinan melakukan pula wawancara dengan dinas-dinas lainnya untuk mendapatkan informasi tambahan. Mengingat penelitian ini dilakukan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Demak maka yang menjadi responden adalah staf dari dinas-dinas terkait yang telah ditunjuk oleh masing-masing Kepala Bagian untuk membantu penulis.

No comments: